Tidak ada sakit yang perlu kau tahan, sebab kadang luka lebih baik ditumpahkan menjadi airmata atau teriakan.
Aku pernah sepertimu.
Aku pernah berulang kali menipu diri sendiri; melarutkan banyak gula pada kenyataan karena rasanya terlalu pekat untuk ku telan bulat-bulat.
Aku pernah menipu rindu dengan cerita kepulangan hanya agar ia menenang dan sanggup menahan bandang.
Aku pernah ketika sangat mencintai, tapi ditinggal pergi. Aku pernah
Tidak perlu ada ingatan yang kau benci; Berusaha kau bunuh dengan cara melupakan paling belati; Cara yang justru menyakiti dirimu sendiri; Menyeretmu sampai jauh tersesat berulang kali.
Sebab, aku pernah sepertimu. Aku pernah begitu sulit berdamai dengan nurani, tersakiti oleh luka yang kukuliti sendiri, ingin mengadu, tapi sudah tak berarti. Aku pernah.
Aku tahu kau menyesali perginya serupa kau menyesali hari di mana semesta mempertemukanmu dengannya; perbincangan yang seiring waktu berlalu, menimbulkan debar-debar di dada kirimu; debar-debar yang membuatmu resah ketika kabarnya belum kau dapati; debar-debar yang membuatmu kalut dan takut untuk membayangkan sebuah pergi. Sebab aku pernah sepertimu, menyesali hari di mana semesta menyodorkan temu, menyesali keterlambatan menyadari bahwa lenganku telah begitu erat memeluknya, menyesali hari di mana kujatuhkan hati padanya, tapi ia tak menangkapnya. Aku pernah..
Comments
Post a Comment