Sejak kamu pergi, aku tetaplah menjadi aku. Aku yang selalu merindukanmu, aku yang selalu memanggil namamu diam-diam. Sejak hari mengerikan itu, semua terasa dingin. Ini jantungku berdegup tanpa ada rasa bahagia. Semua benar-benar biasa. Tidak ada satu pun warna yang dapat melukis kedua bibir.
Aku selalu berharap kelak kamu akan pulang dan kembali membahagiakanku. Setiap hari, saat senja pulang ke tempatnya, aku selalu menitipkan rindu di sana. Saat purnama menyapa, tak luput aku juga menitipkan rindu dengan alasan yang sama: Aku ingin kamu pulang. Itu saja. Dan, sesederhana itu pintaku pada Tuhan.
Aku ingin merengkuh jemarimu seperti yang sering dulu kulakukan. Lalu, kamu gamit tanganku erat. Aku rindu perihal yang pernah kita lewati bersama. Aku rindu senyum yang tampak keasliannya. Senyum yang memang benar-benar aku sedang bahagia karenamu. Bukan seolah-olah aku jadikan senyum sebagai senjata pelipur luka.
Hingga akhirnya aku tersadar, bahwa aku pun tidak seharusnya menjadi aku untuk kesekian lamanya. Aku harus menjadi aku yang baru. Menjadi aku yang lain. Menjadi aku yang bisa dan terbiasa tanpamu. Sejujurnya, itu sangatlah menyakitkan. Sebab aku harus melawan arus hatiku sendiri. Dan ketahuilah, itu tak mudah seperti apa yang kamu terka. Aku harus dengan segera menghapus segala rasa.
Jika pada akhirnya aku gagal, mungkin aku akan kembali menjadi aku yang dulu. Aku yang tetap mencintaimu, walau kamu tidak lagi pernah membuka hatimu untukku. Aku yang tetap merindukanmu, walau kamu tidak lagi pernah mendengarkan lara tentang rinduku. Biar aku tenggelam bersama senja dengan rindu yang sama. Biar purnama menerangi malam-malam gelapku dengan rindu yang sama pula.
Kelak, akan ada senja-senja yang lain yang dapat mengukir senyumku. Senja yang beda, di tempat yang berbeda. Kelak, akan ada rekatan bintang yang lain yang menerangi malam gelapku. Sehingga aku tidak lagi harus menitipkan rindu dengan alasan yang sama.
Comments
Post a Comment